ALAT
KOHESI (PERTALIAN BENTUK)
Makalah ini di susun atau dibuat untuk tugas yang mata kuliah Wacana Bahasa Indonesia yang
diampu oleh dosen Ainiyah Ekowati, Spd.
Disusun oleh:
Amelia Riska Pratiwi
Fiyora Putri Octaviani
Haris Budiansyah
Laela Nurfalina
Puspa Rini Wijayanti
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDKAN
UNIVERSITAS
PAKUAN
2012
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan
puji syukur kehadiran Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga
kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Alat Kohesi
(pertalian bentuk)”. Makalah ini di susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Wacana Bahasa
Indonesia.
Proses penyusunan makalah ini melibatkan beberapa pihak yang terkait
untuk itu kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan yang di
berikan dengan tulus, terutama kepada :
1. Orang Tua kami yang memberikan dukungan sepenuhnya.
2. Bapak Ainiyah Ekowati, Spd. yang membimbing kami sepenuhnya.
Demikianlah makalah ini semoga bermanfaat.
Bogor, 24
November 2012
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
1.
LATAR BELAKANG...................................................................... 1
2.
TUJUAN........................................................................................... 1
BAB II PEMABAHASAN.......................................................................
1. Alat Kohesi........................................................................................ 2
2. Alat Kohesi Gramatikal .................................................................... 3
2.1 Referensi Endoforis dan Eksoforis............................................ 3 2.1.1 Pengacuan Endoforis 3
a.
Pengauan Anaforis .................................................... 4
b.
Pengacuan Kataforis ................................................. 5
2.1.2
Pengacuan Eksaforis.............................................. .......... 5
2.2 Konjungsi ........................................................................ .......... 5
2.3 Substitusi .................................................................................... 6
2.4
Pelepasan .......................................................................... .......... 6
3. Alat
Kohesi Leksikal ........................................................................ 7
3.1 Reiterasi
(pengulangan)..................................................... .......... 7
3.1.1 Repitisi/ Ulangan Penuh ........................................... .......... 7
3.1.2 Ulangan dalam Bentuk Lain .................................... .......... 8
3.1.3 Ulangan dengan Penggantian ................................... .......... 8
3.1.4 Ulangan dengan Hiponim ........................................ .......... 8
3.2 Kolokasi ........................................................................... 9
BAB III PENUTUP.................................................................................. .....
KESIMPULAN.............................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu pembangun wacana adalah
kohesi. Wacana tanpa kohesi bagaikan keberadaan suatu teks yang tidak memiliki
suatu kekuatan. Kohesi juga merupakan konsep makna yang mengacu pada hubungan
makna yang terdapat dalam sebuah teks. Hubungan makna di dalam teks itu
demikian eratnya sehingga menimbulkan perpaduan yang kokoh. Karena suatu teks
dapat dikatakan wacana apabila memiliki sebuah makna.
Sebuah wacana merupakan suatu
jalinan atau penyatuan bagian-bagian wacana sehingga menjadi satu wacana utuh.
Jalinan unsur-unsur wacana itu dapat berupa oleh alat-alat kohesi yang
mencakupi: referensial, substitusi, elipsis, konjungsi, dan leksikal. Alat-alat
kohesi yang menandai hubungan kohesif suatu wacana memiliki perangkat-perangkat
2. Tujuan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami Alat Kohesi (pertalian
bentuk).
1
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Alat kohesi
Sebuah
wacana yang utuh harus harus memiliki aspek yang lengkap, padu, dan
menyatu.
Aspek itu antara lain, kohesi, koherensi, topik wacana, aspek leksikal, aspek
gramatikal, aspek fonologis, dan aspek semantis. Keutuhan wacana juga harus
didukung oleh konteks terjadinyawacan itu. Dapat dikatakan bahwa keutuhan
wacana terjadi karena adanya keterkaitan antara teks (bahasa) dan konteksnya.
Itulah yang menjadi aspek utama wacana.
Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa aspek keutuhan wacana terdiri atas kohesi dan koherensi. Aspek kohesi
meliputi leksikal, gramatikal, fonologis, sedangkan koherensi mencakup semantik
dan topikalisasi.
2.
Alat Kohesi
Gramatikal
Untuk memperoleh wacana yang baik dan
utuh, kalimat-kalimat pendukung wacana harus kohesif (Moeliono et al. 1988: 34). Hanya dengan hubungan kohesif seperti
itulah unsur-unsur di dalam wacana dapat diinterpretasikan sesuai dengan unsur
lain. Hubungan kohesif sering ditandai oleh kehadiran penanda khusus yang
bersifat formal bahasa (lingual formal).
Koheresi merupakan kepaduan bentuk
(bahasa), yang secara struktural membentuk ikatan sintaksis. Kohesi dapat
dibagi menjadi Kohesi gramatikal yang terdiri atas referensi (reference), substitusi (substitution), elipsis (ellipsis), dan konjungsi (conjuntion), dan kohesi leksikal
terdiri atas reiterasi (reiteration),
dan kolokasi (collacation) (Halliday
dan Hassan, 1974: 4, 21).
Pada dasarnya, kohesi mengacu pada
hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan
untuk menyusun sebuah wacana memiliki keterkaitan sintaksis (bentuk) secara
padu dan utuh. Kohesi termasuk kelompok unsur internal struktur wacana (menjadi
bagian dari aspek formal atau aspek bahasa dari wacana itu), sedangkan
koherensi termasuk kelompok unsur eksternal struktur wacana. Oleh karena itu,
oragnisasi
2
dan struktur wacana bersifat sintaksis-gramatikal.
2.1
Referensi
Endoforis dan Eksoforis
Pengacuan (referensi) terdiri atas pengacuan
endoforis dan pengacuan eksoforis. Pengacuan endoforis (relasinya ada di dalam
teks) terdiri atas pengacuan anaforis, dan penacuan kataforis, sedangkan
pengacuan eksoforis (relasinya ada di luar teks) bergantung pada konteks
situasional.
2.1.1 Pengacuan
Endoforis
Pengacuan
endoforis adalah pengacuan dalam teks atau pengacuan pada referen yang ada di
dala teks. Yang diguanakan Sebagai alat pengacu pada pengacuan endoforis ialah
pronomina persona, pronomina demonstratif, ataupun komparatif.
a. Pengacuan Anaforis
Pengacuan
anaforis adalah pengacuan yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu
terhadap satuan lingual yang lain yang mendahuluinya, atau mengacu terhadap
anteseden sebelah kiri, atau mengacu terhadap unsur yang telah disebut
terdahulu. Penggalan
wacana (1) berikut merupakan wacana tulis yang mengandung referensi endofora anaforis. Berikut data dan
analisisnya.
(1)
Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertanhut) Purbalingga Ir. Lily
Purwati yang menghadiri penyerahan bantuan benih di desa Langgar Kecamatan
Kejobong merasa sangat gembira.”Saya begitu gembira, ternyata
pengurus-pengurusnya muda-muda. Ini cukup bagus untuk regenerasi petani,”
Pada pengalan wacana (1) terdapat pronomina
persona pertama tunggal ‘saya’ secara anaforis. Wujud penanda referensial
saya mengacu terhadap anteseden ‘Ir. Lily Purwati’ yang terletak
di sebelah kiri atau kalimat sebelumnya. Penggunaan pronomina saya
3
dimaksudkan untuk mempersonakan orang pertama tunggal atau orang yang
melakukan
tuturan tersebut (Ir. Lily Purwati), sehingga kesan komunikatifnya
dapat lebih ditangkap oleh pembaca. Unsur ‘saya’ merujuk silang pada
unsur di dalam wacana, bersifat endofora karena di dalam wacana tersebut
didapatkan unsur yang merujuk silang pada ‘saya’ sebagai pronomina
persona pertama tunggal.
b. Pengacuan Kataforis
Penagcuan kataforis merupakan pengacuan yang
berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lain yang mengikutinya,
atau mengacu terhadap anteseden di sebelah kanan, atau mengacu terhadap unsur
yang baru disebutkan kemudian. Penggalan wacana (2) berikut merupakan wacana
tulis yang mengandung referensi endofora kataforis. Berikut data dan
analisisnya.
(2) “Saya
mendukung sepenuhnya perjuangan PSCS untuk menjadi juara. Memang, saya
tidak bisa menonton langsung tiap pertandingan, tapi sebagai warga Cilacap saya
pasti ikut senang kalau PSCS bisa berkiprah di tingkat nasional dan menjadi
juara,” kata Akhmad warga desa Mulyasari Kabupaten Cilacap.
Pada pengalan wacana dialog (2)
terdapat pronomina persona tunggal ‘saya’ yang mengacu pada unsur lain
yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan sesudahnya. Berdasarkan
ciri-ciri yang terdapat dalam tuturan (2), saya merupakan wujud dari
penanda referensial endofora (acuannya berada di dala teks), yang bersifat
kataforis (acuannya disebutkan sesudahnya atau antesedennya berada disebelah
kanan) melalui satuan lingual berupa pronomina persona pertama tunggal. Wujud
penanda referensial saya mengacu terhadap anteseden ‘Akhmad’ yang
terletak di sebelah kanan yaitu orang yang menuturkan tuturan tersebut.
4
2.1.2 Pengacuan Eksoforis
Pengacuan Eksoforis adalah relasi pengacuan yang
acuannya berada atau terdapat
di luar bahasa (ekstratektual). Dengan kata
lain, anteseden yang diacu berada di luar bahasa. Penggalan wacana (3) berikut
ini merupakan wacana tulis yang menganduang Pengacuan Eksoforis.
(3)
Jika Anda berkunjung ke salah satu kedai di Jalan Mawar Cilacap, maka Anda
akan melihat beberapa anak muda yang sedang nongkrong.
Penanda referensial ‘Anda’,
mengacu terhadap pembaca wacana. Pembaca merupakan acuan yang
berada di luar bahasa (ekstratektual). Berdasarkan ciri-ciri seperti yang
disebutkan maka Anda dalam tuturan (3) merupakan pengacuan eksofora (acuannya berada di luar
teks). Unsur ‘Anda’ merujuk silang pada unsur di luar konteks bahasa,
bersifat eksofora karena di dalam wacana tersebut tidak didapatkan unsur yang
dirujuk silang oleh ‘Anda’ sebagai pronomina persona kedua tunggal.
2.2 Konjungsi
Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan
kebahasaan yang berfungsi untuk menyambung, merangkai, atau menghuungkan kata
dengan kata, frasa dengan frasa klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat
dan seterusnya (Kridalaksana, 1984: 105). Konjungsi disebut juga sarana
perangkai unsur wacana. Konjungsi amat mudah dikenali karena menjadi pemarkah
formal. Beberapa jenis konjungsi, antara lain konjungsi adversatif (misalnya:
namun, tetapi), konjungsi kausal (misalnya sebab, karena), konjungsi korelatif
(misalnya: apalagi, demikian juag), konjungsi subordinatif (misalnya: meskipun,
kalau), dan konjungsi temporal (misalnya: sebelumnya, sesudahnya, lalu,
kemudian). Perhatikan pemakaian konjungsi berikut ini.
4). “Badannya
masih lelah, tetapi ia tetap saja
pergi bekerja. Hari ini harus pekerjaannya selesai. Ia malu sebab pekerjaan itu sudah tertunda lebih
dari satu minggu.”
5
Konjungsi adversatif tetapi (pada klausa kedua) dan konjungsi
kausal sebab (pada kalimat
tiga) berfungsi sebagai
penghubung bagian kalimat itu dengan bagian kalimat sebelumnya.
2.3 Substitusi
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil
penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar.
Penggantian itu dilakukan untuk memperoleh unsur pembeda atau untk menjelaskan
struktur tertentu (Kridalaksana, 1984: 100). Substitusi merupakan hubungan
gramatikal, dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Perhatikan contoh
berikut.
5) Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus penulis
sampaikan kepada Bapak A dan Bapak B yang telah rela menolong saya ketika dalam
kesulitan. Atas bantuan beliau berdua (Bapak
berdua), saya dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik.
Frasa beliau berdua (Bapak berdua) pada kalimat itu
merupakan bentuk ysng menggantikan unsur lain yang telah disebutkan, yaitu
Bapak A dan Bapak B.
2.4 Pelepasan (Elipsis)
Pelepasan atau penghilangan (ellipsis) adalah
proses melepaskan kata atau satuan kebahasaan lainnya. Bentuk atau unsur yang
dilepaskan itu dapat diperkirakan wujudnya, melalui konteks bahasa atau konteks
luar bahasa (Kridalaksana, 1984: 40). Elipsis juga merupakan penggantian unsur
kosong (zero), yaitu unsur yang sebenarnya ada, tetapi sengaja dihilangkan atau
dilepaskan. Tujuan pengguanaan elipsis, antara lain, ialah untuk memperoleh
kepastian berbahasa, yaitu agar bahasa yang digunakan lebih singkat, padat, dan
dapat dimengerti dengan cepat. Jadi, elipsis diguanakan untuk efektivitas dan
efesiensi berbahasa.
Bagian
kalimat yang sering dilepaskanialah subjek atau predikat (Fokker, 1988: 88).
Elipsis diguanakan dengan mengandaikan bahwa pembaca atau pendengar sudah
6
mengetahui sesuatu meskipun sesuatu itu
dituliskan secara eksplisit. Berikut ini contoh pengguanaan elipsis.
6) Ya, Allah, terima kasih Engkau telah memberiku
lebih dari apa yang aku minta. Engkau kuatkan dan sabarkan Aku ketika (Aku )
dalam kesulitan sehingga aku dapat mengatasinya. Terima kasih, ya, Allah atas
...”
Kalimat ketiga, ”Terima
kasih. Ya, Allah ...” merupakan kalimat elipsis. Kalimat itu muncul karena
penulis itu yakin bahwa Allah telah memberinya lebih dari apa yang dimintanya,
telah memberinya kekuatan dan kesabaran kepadanya. Unsur yang dilepaskan ialah
subjek dan predikat.
3.
Alat
Kohesi Leksikal
Secara umum alat kohesi leksikal berupa kata atau frase bebas yang mampu
mempertahankan hubungan kohesif antara kaliamt yang mendahului dengan kalimat
yang mengikuti Menurut Rantel (1986: 268-289), alat kohesi leksikal terdiri
atas dua macam. Pertama, reiterasi (pengulangan) yaitu alat kohesi yang
digunakan dengan mengulang sesuatu proposisi atau bagian dari proposisi.
Reiterasi itu meliputi repetisi (ulangan) dan ulangan hiponim. Kedua, kolokasi
kata yang menunjukan adanya hubungan kedekatan tempat (lokasi). Berikut ini
dibahas secara garis besar mengenai alat kohesi leksikal.
3.1
Reiterasi
(Pengulangan)
Reiterasi (pengulangan) merupakan cara
untuk menciptakan hubungan yang kohesif. Jenis-jenis reiterasi itu meliputi
berikut ini.
3.1.1
Repetisi/
Ulangan Penuh
Ulangan penuh berarti
mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh, tanpa pengurangan atau
perubahan bentuk. Pengulangan ini dapat berfungsi untuk memberi tekanan pada
bagian yang diulang. Pada umumnya bagian yang diulang merupakan kata kunci yang
diberi penekanan. Coba perhatikan contoh berikut.
7) Berfilsafat didorong untuk mengetahui
apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan
7
pernah kita ketehaui
dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.
Pada contoh diatas, kata berfilsafat diulang
secara penuh pada kalimat berikutnya.
3.1.2
Ulanagan
dalam Bentuk Lain
Ulanagan dengan bentuk lain terjadi bila sebuah
kata diulang dengan konstruksi atau bentuk kata lain yang masih mempunyai
bentuk dasar yang sama. Perhatikan contoh berikut.
8) Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu,
kepastian dimulai dengan cara ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan
apa yang belum kita tahu.
Kata filsafat pada cotoh di atas, termasuk kata
benda. Kata itu diulang dengan konstruksi berfilsafat. Kata berfilsafat
termasuk kata kerja.
3.1.3
Ulangan
dengan Penggantian Penuh
Ulangan dengan penggantian sama dengan penggunaan
kata ganti (substitusi). Untuk menghubungkan kalimat dapat dilakukan dengan
mengulang bagian kalimat. Namun, pengulang itu dapat dilakukan dengan mengganti
bentuk lain seperti dengan kata ganti, contoh:
9) Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan
IPS, atau lebih sedih lagi seorang ilmuan memandang rendah kepada pengetahuan
lain. Mereka meremehkan moral,
agama, dan nilai estetika.
Pada
contoh diatas terdapat pengulangan sebagian kalimat. Lulusan IPA dan ilmuan
diulang dengan menggunakan kata ganti jamak mereka. Pengulangan sebagian
proposisi dengan mengguanakan kata ganti ini dapat termasuk ulangan atau
repetisi dilihat dari proses pengulangannya. Namun, apabila dilihat dari proses
penggantiannya, hal tersebut termasuk alat penggantian atau substitusi.
3.1.4 Ulangan
dengan Hiponim
Dalam kehidupan sehari-hari telah dikenal atau
kata superodinat yang mempunyai beberapa subordinat. Pengulangan yang terjadi
pada kata subordinat disebut ulangan
8
dengan hiponim. Lihat contoh berikut.
10) Para
penderita parkoinson memperlihatkan kemelaratan gerakan, kelakuan, dan tindakan
tidak terkendali. Mereka sukar sekali memulai suatu gerakan. Gerak jalan yang
laju terus itu dikenal sebagai propulasi. Pada ekspresi verbalnya manifestasi
khas ini tercermin pula. Artikulasi sangat terganggu karena otot lidah, otot
wajah, dan pita suara sebagian lenyap.
Pada contoh di atas terdapat pengulangan dengan
hiponim. Klausa gerak jalan yang laju terus merupakan pengulangan hiponim frase
gerakan tak terkendali. Ulangan itu hanya sebagian dari cakupan
superordinatnya.
3.2
Kolokasi
Sesuatu hal yang selalu berdekatan atau
berdampingan dengan yang lain biasanya diasosiasikan sebagai satu kesatuan.
Seperti ikan dan air sering diasosiasikan membentuk satu kesatuan. Kalau ada
ikan, selalu ada air. Kalau keadaanya begitu, maka secara psikologis akan
ditarik suatu kesimpulan kolokasi. Coba perhatikan contoh berikut.
11) Sifat terbuka atau demokratis dari pancasila
sebagai ideologi pertama-tama dapat kita lihat dari proses kelahirannya.
Sebagaimana diketahui rumusan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan
konstutisi bersama kita itu lahir melalui proses musyawarah-mufakat yang
bersuara terbuka dan demokratis.
Bagi
bangsa Indonesia, pancasila dan UUD 1945 merupakan dua hal yang selalu ada
berdampingan. Dalam berbagai pembahasan di buku-buku , pembahasan pancasila
tentu tidak dapat dipisahkan dengan
pembahasan UUD 1945. Pada contoh (10) di atas, pengulangan diikuti dengan
penyajian kata yang menunjukan kolokasi. Hadirnya kata UUD 1945 pada contoh di
atas tidak menimbulkan suatu penyimpangan proposisi, karena keduanya menunjukan
kolokasi.
9
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
kohesi tidak datang dengan sendirinya, tetapi diciptakan
secara formal oleh alat bahasa yang disebut pemarkah kohesi, misalnya kata
ganti, kata tunjuk, kata sambung, dan kata yang diulang. Pemarkah kohesi yang
digunakan secara tepat menghasilkan kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. Kohesi leksikal adalah hubungan semantis
antar unsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata
yang dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi.
10
DAFTAR
PUSTAKA
Suhendra. 2006. Teori Wacana Bahasa Indonesia.Bogor:
Fkip Universitas Pakuan
H.M. Junaiyah dan Arifin. Zaenal. E. Keutuhan
Wacana.